January 15, 2008

Haji (3): Mungkin Perasaan itu Seharusnya Tidak Ada!

Sekitar Jam 04.00 dinihari, 14 Desember 2007 atau 4 Zulhijjah 1428, pesawat Egypt Air yang kami tunggangi mendarat di Bandara Internasional King Abdul Aziz, Jeddah. Alhamdulillah! Kami resmi memulai ibadah haji sejak niat ihram di miqat tadi. Gema talbiyah menggema di antara para jamaah selama kurang lebih 5 menit kami berada di Bus menuju ruang tunggu.

Entah hanya di ruang tunggu yang kami tempati atau di keseluruhan bagian Bandara ini, yang jelas aku lihat fasilitas ruangannya terlalu sederhana untuk ukuran sebuah Bandara Internasional. Ah, aku tidak ingin terlalu memikirkannya!

Tiba-tiba, seorang pria berjas perlente mendekati kami, jelas dia seorang Indonesia. “Pak Oman, yah?” sapanya. Rupanya dia adalah Pak Kafrawi, Staf Protokol Haji yang diutus oleh Pak Nursamad untuk menjemput kami dan mengurus segala urusan ‘tetek bengek’ supaya bisa keluar dari Bandara.

“Wah, keluar dari sini tidak mudah, Mas! Harus ada yang ngurus”, kata Pak Kafrawi kepada kawan baruku, Taufal, yang kelihatan sedang sibuk berusaha menghubungi kawannya yang mungkin diharapkan akan membantu di Bandara.

“Wah, kalau begitu beruntung sekali kami ini”, pikirku, “pasti kami bisa keluar dari Bandara lebih cepat dan lebih lancar dari yang lain, yang mengurus kan staf khusus dari Kantor Kedutaan”.

Aku sempat menyesal karena tidak bisa meminta Pak Kafrawi ikut membantu Taufal supaya bisa bersama-sama kami segera menyelesaikan urusan keimigrasian dan lain-lain. Laki-laki muda berjas ini memang tampak agak bergegas, dan setelah bercakap-cakap dengan petugas setempat, ia segera mengajak kami keluar dari ruang tunggu, sementara aku lihat semua jamaah lain belum ada yang bergerak, “wah, istimewa sekali kami ini”, begitu yang terbersit dalam benakku saat itu.

Tapi, entah karena aku menyimpan perasaan terlalu ‘membusungkan dada’ saat mau menghadap-Nya ini, atau karena memang ada masalah keimigrasian, atau mungkin kedua-duanya, yang jelas kami berlima nyatanya tidak bisa keluar dari Bandara lebih duluan dari Taufal, bahkan ketika ruangan yang aku tinggalkan tadi telah kosong sekalipun, kami masih ‘nyangkut’ di pintu pemeriksaan passport dan visa. Entahlah, aku juga tidak bisa mengetahui persisnya apa yang terjadi karena selama berjam-jam Pak Kafrawi tidak kelihatan. Belakangan, ia cerita bahwa memang ada sedikit masalah dengan kelengkapan visa, selain juga karena sifat haji saya yang personal, sehingga ia harus pontang-panting kesana kemari mengurusnya. Ah, terima kasih banyak Pak!

Walhasil, mulai jam 4 dinihari sampai jam 8 pagi, kami terpaksa harus berdiri di batas pintu keluar ruang tunggu, sehingga kami harus minta izin ke petugas jaga untuk menunaikan shalat Shubuh bergantian. Dan ketika Pak kafrawi telah menyelesaikan kelengkapan yang dimaksud serta bisa membawa kami keluar dari pintu pertama pun, ternyata kami masih harus menunggu lebih dari satu jam berikutnya. Di tempat transit jamaah Haji Indonesia akhirnya kami tak kuasa lagi menahan kantuk, meski aku harus merem-melek mengusir lalat-lalat yang berusaha mengganggu tidur istri dan anak-anakku. Sampai akhirnya Aiman, supir kendaraan yang ditugaskan untuk menemani kami selama menunaikan ibadah haji, tiba dan membawa kami menuju Mekkah al-Mukarramah.

Ah, mungkin perasaan takabbur itu seharusnya tidak terbersit dalam benakku! astagfirullah... Tapi apapun penyebab semua ini, aku berusaha meluruskan niat saja dan mencoba lebih meyakini bahwa menunaikan ibadah haji memang perlu bekal niat yang suci, lurus, dan belajar untuk tidak takabbur atau terlalu membusungkan dada atas pengalaman hidup yang kita jalani. “labbaik allahumma labbaik, labbaik la sharika laka labbaik”..

Salajengna......

January 5, 2008

Haji (2): Meluruskan Niat di Cairo

Bismillah! Selama di Cairo, kami berusaha lebih memantapkan dan meluruskan niat ibadah haji serta bertawakkal kepada-Nya semata. Terus terang hingga saat kami berangkat menuju Jeddah, hatiku masih dipenuhi rasa was-was, apakah nanti aku bisa menunaikan ibadah haji dengan baik sambil membawa dan menjaga istri dan ketiga anak-anakku?

Beberapa kali aku kontak Pak Nursamad, Kepala Konsulat Haji di Jeddah yang mengundang kami, untuk memastikan bahwa dia sudah membantu memperhitungkan hal-hal teknis berkaitan dengan kedatanganku beserta istri dan tiga anak kecil…

Sayang sekali aku tidak pernah menerima balasan dari Pak Nursamad, aku berfikir mungkin ia terlalu sibuk mengurus persiapan haji tahun ini yang dibayang-bayangi 'kasus kelaparan' jamaah haji tahun lalu. Untungnya kawan-kawan di Cairo yang umumnya sudah berpengalaman menunaikan ibadah haji memberikan sugesti yang sangat positif. “Gak usah khawatir, Kang!” begitu Aang Anshari, Mawhiburrahman, dan Pak Amin Samad meyakinkan, “Jamaah haji sudah umum kok yang membawa anak kecil, pasti nanti ada jalan kemudahan”, semogalah, pikirku.

Kekhawatiran dan rasa was-wasku sebetulnya bukan tanpa alasan, karena nyatanya persiapan dan prakondisi kami untuk menunaikan ibadah haji ini memang sangat terbatas, mengingat serba mepetnya kepastian keberangkatan ini seperti yang telah aku ceritakan. Tapi, segera aku luruskan niat ini, dan semuanya terasa menjadi lebih ringan!

Kalau jamaah haji umumnya sudah berlatih cara memakai baju ihram sebelum berangkat misalnya, kami berlima bahkan belum punya baju ihram sampai tiba di Cairo. Sehari sebelum berangkat ke Jeddah, barulah kami berbelanja berbagai perlengkapan haji di Cairo: baju ihram, sandal jepit, ikat pinggang, dan lain-lain…Dan, baru pada malam keberangkatan ke Jeddah itulah untuk pertama kalinya kami praktik mengenakan baju ihram, tentu agak kaku dan kikuk rasanya…tapi, segera aku luruskan niat ini, dan semuanya terasa menjadi lebih baik!

Nyatanya, banyak kemudahan tak terduga yang kami jumpai! Meski berangkat dari Jerman tanpa iringan keluarga, hanya ada Adam dan Widiyanto, dua mahasiswa Indonesia di Bonn yang melepas kepergian kami, tapi di Cairo tak dinyana kami bak bertemu dengan sanak keluarga di kampung. Selain bertemu dengan Aang Anshari, Katib Syuriah PCINU Mesir, yang ternyata adalah saudara sepupuku dari Kuningan, dan banyak membantu segala persiapan kami menjelang ibadah haji, kami juga jadi berbesar hati karena keluarga alumni Cipasung, yang dikoordinir A. Maher Saleh, begitu hangat menyambut kami. Belum lagi
Pak Muhlashon dari Atdikbud KBRI yang memfasilitasi kami selama tinggal di Cairo, keluarga Pak Amin Samad yang sedemikian hangat bak ketemu dengan sahabat lama, Mawhiburrahman, santri Sukabumi yang jadi contact person pertamaku di Cairo, dan dengan setia menemani kami selama di Cairo, Oyi yang tak kenal lelah berada di belakang kemudi, Maria yang berkenan menyempatkan waktunya untuk menemani istriku meski lagi siap-siap ujian, dan tentunya tak lupa kawan-kawan mahasiswa Pengurus Wisma Nusantara yang ramah-ramah. Ah, pokoknya “di tengah kesulitan selalu ada kemudahan”. Aku pun segera lebih meluruskan niat, dan semuanya terasa semakin menjadi lebih ringan!

Malam semakin larut, malam itu kami dijadwalkan take off Cairo-Jeddah menggunakan pesawat Egypt Air jam 24.00. Ah, suasana di Bandara agak semrawut, aku dipingpong dari satu counter ke counter lain saat check-in, pesawatnya katanya akan delay 2 jam! Serba tidak jelas informasinya, apalagi aku tidak terlalu faham bahasa Arab pasaran. Untunglah, di tengah kesulitan itupun kami bertemu Taufal, mahasiswa Indonesia di Cairo yang juga hendak menunaikan ibadah haji dengan menggunakan pesawat yang sama. Ia pun dengan baik hati menemani kami wara wiri hingga beres naik pesawat. Terima kasih Taufal, terima kasih Ya Allah.

Ah, mungkin ini semua hikmah dari meluruskan niat! Ya, pada saat-saat seperti ini Dia terasa begitu dekat, aku pun segera semakin meluruskan niat, terutama saat pesawat memasuki batas miqat, niat semata memenuhi panggilan-Nya, niat semata "bersilaturahmi" dengan-Nya. Kami pun mengucapkan niat ihram untuk haji tamattu’: “labbayka allahumma ‘umratan”, ya Allah kami sekeluarga memenuhi panggilanmu untuk berumrah…


Salajengna......

January 4, 2008

Haji (1): Haji Tanpa “Seremonial”

Lazimnya, jamaah Indonesia yang mau berangkat haji akan disibukkan dengan berbagai ‘seremonial’, baik sebelum maupun menjelang hari keberangkatannya, mulai dari walimatussafar, tasyakuran, terima tamu, dan akhirnya acara pelepasan.

Selain menyita waktu dan tenaga, tentu saja semua rangkaian acara itu membutuhkan alokasi dana tersendiri, sehingga kalau “dijumlah-jambleh”, biaya yang perlu dikeluarkan oleh seorang calon jamaah haji Indonesia akan melebihi biaya resmi yang dibayarkan (biaya resmi haji per orang tahun 2007 adalah Rp. 27 juta)!

Ini belum termasuk biaya belanja ‘pernak-pernik’ berbau haji, seperti tasbeh, sajadah, dan lain-lain untuk dibagikan sebagai oleh-oleh, tidak peduli belinya di Makkah atau di Tanah Abang. Ada nilai sosial di situ memang, tapi celakanya orang seringkali memaksakan diri untuk bisa menjadi 'sosial' itu.

Lain lagi dengan cerita keberangkatan haji kami sekeluarga, tidak ada famili yang berbondong-bondong mengantar sampai naik kendaraan, hanya ada Mas Adam yang menemaniku membawa dua buah koper dari rumah dan mengaminiku saat aku menggumamkan doa perjalanan, Mas Widianto yang menunggu di Stasiun Kereta, keduanya mahasiswa di Jerman, dan Pak Hosi yang mengawal kami di Bandara. Namun, di tengah kesepian itu kami merasakan ketulusan, meski tak kuasa air mata pun sedikit menetes di pipi.

Ya, hari itu kami berlima berangkat dari Bonn dengan niat untuk menunaikan ibadah haji. Tak terbayangkan memang bahwa akhirnya niat kami ziarah ke Tanah Suci akan kesampaian. Maklum, bertumpuk masalah teknis yang agak mengganjal, meski akhirnya semuanya dapat kami lalui. Kami beruntung bahwa Konsulat Haji di Jeddah berkenan mengundang kami berlima, sehingga aku tidak perlu mengeluarkan ‘biaya normal’ haji yang tentunya terlalu besar jika ditanggung sendiri. Labbaikallahumma labbaik, labbaika la sharika laka labbaik, innalhamda wanni’mata laka walmulk, la sharika lak...


Salajengna......

January 2, 2008

Kini, Ajengan Telah Tiada

Aku tertegun saat mendengar pengeras suara di Tenda Masjid di Arafah mengumumkan bahwa K.H. Ilyas Ruhyat telah berpulang ke rahmatullah, inna lillahi wa inna ilayhi raji'un. Ya, saat itu aku dan keluarga memang sedang mengikuti wukuf di Arafah yang menjadi rangkaian utama ibadah haji. Suara di Masjid itu pun mengumumkan bahwa segera akan dilaksanakan shalat gaib bersama selepas shalat Magrib berjamaah.

Persis lima hari sebelumnya, aku berkumpul bersama sejumlah alumni Pesantren Cipasung yang sedang melanjutkan studi di Cairo, salah satunya adalah A Maher Sholeh, keponakan dari Almarhum sendiri. Saat itu kami menerima berita bahwa kondisi Ajengan menurun drastis, sehingga kami pun menyempatkan berdoa bersama untuk kebaikan Ajengan. Kini, jelas sudah, kiranya kembali ke Haribaan-Nya merupakan hal terbaik yang Dia Kehendaki, setelah sekian lama Ajengan bergelut dengan sakitnya.

Tahun 1984, untuk pertama kalinya aku menginjakkan kaki di Pesantren Cipasung, mengikuti jejak kakak-kakakku sebelumnya. Sejak itulah aku mengenal Ajengan Ilyas sebagai sosok yang sering disebut orang sebagai santun, sederhana, kalem, dan penuh kharisma. Meski hanya ikut-ikutan, tapi aku relatif sering mengikuti pengajian bandongan yang diasuh oleh Ajengan. Saya bilang ikut-ikutan karena sebetulnya santri yang ikut 'kelas' Ajengan adalah santri senior, dan kitab yang dipelajari pun bukan lagi kitab-kitab dasar. Tapi karena sifat pengajiannya terbuka, aku pun sering menyempatkan duduk mendengarkan suaranya yang datar, pelan, anca, dan penuh kharisma.

Dalam beberapa kesempatan, aku menyempatkan sowan ke rumah Ajengan, dan Ajengan selalu menanyakan kabar Ayahku di Kuningan, kiranya Ajengan sangat pandai menjaga dan memelihara hubungan emosional dengan santri dan keluarganya, sehingga kami merasa diasuh dan diperhatikan.

Seperti umumnya terjadi pada ulama-ulama kharismatik di pesantren, sosok Ajengan Ilyas juga tidak lepas dari cerita-cerita 'luar biasa' berkaitan dengan keilmuannya. Salah satu yang sering aku dengar saat di Pesantren adalah bahwa sewaktu Abah Ruhyat masih memimpin Pesantren Cipasung, sebetulnya Ajengan Ilyas tidak terlalu cakap menguasai kitab-kitab kuning khas pesantren, bahkan sekolah pun konon hanya sampai Tingkat SD. Tapi, menjelang Abah Ruhyat wafat, Ajengan Ilyas mewarisi keulamaan Ayahnya dengan cara yang 'tidak lazim dan luar biasa'. Sejak saat itulah, Ajengan Ilyas 'menjelma' menjadi sosok pimpinan Pesantren yang disegani, dihormati, dan penuh dengan kharisma.

Terlepas dari benar dan tidaknya cerita itu, aku bersyukur karena sempat merasakan kedalaman pengetahuannya, dan mendengarkan sejuk suaranya.

Kini, suara itu telah tiada...tapi banyak santrinya akan tetap mengenang jasa-jasanya, dan bahkan bangsa ini berhutang budi padanya, berkat aktivitas, silaturahmi, serta kontribusinya bagi sesama. Anakku, tengoklah Ajengan! jadilah seperti Ajengan, yang ditangisi saat berpulang!

Aku pun memohonkan ampun untuknya di Padang Arafah, allahummagfir lahu warhamhu wa 'afihi wa'fu 'anhu....dan aku mengulangi sekali lagi takbir dalam shalat ghaib untuknya saat memuji Sang Pencipta di Masjid Nabawi, di samping Makam Sang Nabi Saw....selamat jalan, semoga Dia menerimamu di sapming-Nya, dan semoga kita semua bisa mewarisi kesahajaanmu, Ajengan!






Salajengna......